Kamis, 21 Mei 2015 | 07:00 WIB
Ilustrasi wisuda. TEMPO/Hariandi Hafid
Siang itu Darwati berniat membahagiakan kedua orang tuanya dalam acara wisuda sarjana manajemen bisnis Universitas Tujuh Belas Agustus, Semarang. “Mereka kan ingin seperti orang tua lain yang bangga punya anak sarjana,” ujar dia.
Kebahagiaan Darwati dan keluarganya bukan tanpa alasan. Dia yang berprofesi pembantu rumah tangga di Kabupaten Grobogan mampu meraih impian untuk menjadi sarjana. Sebagai pembantu, dia menyisihkan sebagian upahnya untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. “Rata-rata saya sisihkan Rp 500 ribu per bulan, dari upah Rp 900 ribu. Toh setiap pekan saya dapat uang makan dari juragan,” kata Darwati.
Dengan uang itu dia harus berhemat agar mampu membayar iuran semester Rp 700 ribu dan satuan kredit semester yang biaya totalnya mencapai Rp 2,5 juta. Tak mudah bagi dia menempuh pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja. Darwati yang anak petani kecil asal Kampung Bulungan, Kecamatan Todan, Kabupaten Blora, itu harus meluangkan waktu sepekan tiga kali dan mengerjakan tugas kuliah sambil menuntaskan tugas rumah tangga.
Tak jarang dia juga mendapat cemooh dari sesama mahasiswa ihwal statusnya. “Ada juga yang mengunjing profesiku. Tapi itu malah membuat aku semakin semangat, bahwa aku bisa seperti mereka,” kata dia. Usahanya tak sia-sia. Dia menyelesaikan kuliahnya pada semester delapan dengan indeks prestasi kumulatif 3,68.
Darwati pun ingin punya usaha sendiri seusai lulus kuliah. Alasannya, ia ingin mempekerjakan orang lain dengan punya usaha sendiri.
Sekretaris Program Studi Manajemen Bisnis Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang, Slamet Riyono, menyatakan Darwati mampu mengungguli rekannya satu jurusan. “Dia wisudawan terbaik di jurusannya,” kata Slamet.
Darwati menulis skripsi tentang perilaku konsumen dengan fokus penelitian kecenderungan pembelian sejumlah produk oleh masyarakat. Darwati Diwisuda bersama ribuan mahasiswa di almamaternya di kompleks Masjid Agung Jawa Tengah.