Novela Nawipa membikin suasana sidang ger-geran, beda dengan biasanya yang selalu tegang.
Siswanto
:
Berita Terkait
Suara.com - Masih
ingat suasana di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada Selasa
(12/8/2014) siang? Saat itu suasananya ger-geran, beda dengan biasanya
yang sangat tegang.
Adalah Novela Nawipa, saksi dari Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang
bisa bikin pecah tawa di ruang sidang. Hakim yang selama ini selalu
tampil kaku pun tak bisa menyembunyikan tawa mereka.
Yang membuat perempuan asal Kampung Awabutu, Kabupaten Paniai, Papua,
itu tiba-tiba sohor di seantero negeri adalah gaya bicaranya saat
memberikan keterangan di hadapan hakim konstitusi.
Perempuan berambut keriting yang juga kader Partai Gerindra ini
bicara dengan suara keras, bahkan seperti meledak-ledak di tengah ruang
sidang.
Misalnya, ketika Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva
menanyakan tentang keadaan kampung lain di Paniai saat pilpres, dengan
nada suara tinggi dan cepat, Novela mengatakan: “Saya tidak mau bicara
kampung lain, saya mau bicara kampung saya saja.” Seisi ruang sidang pun
ger-geran.
Momen lain yang membuat para hakim tak bisa menahan tawa adalah
ketika hakim Patrialis Akbar bertanya tentang jarak antara TPS dan
distrik tempat Novela.
“Dekat, Yang Mulia, hanya 300 kilometer,” ujar Novela dengan nada tinggi.
Tentu saja statement itu membuat orang-orang heran, lalu
pecah tawa. Tiga ratus kilometer dibilang dekat. Tapi kemudian ia
meralat, maksudnya 300 meter jaraknya.
Sejak kejadian itu, Novela jadi perbincangan di berbagai tempat. Ada
orang yang mengira Novela sedang marah-marah kepada hakim, padahal
memang logatnya seperti itu. Siapa sesungguhnya Novela? Berikut ini
ceritanya.
Ia adalah perempuan kelahiran Paniai 14 September 1984. Selama ini,
Novela menekuni bisnis rumah, tanah, dan emas sejak 2009. Ia termasuk
orang yang punya tekad untuk berkontribusi membangun perekonomian Papua.
Dengan bekal keyakinan dirinya yang kuat itu, Novela mulai membangun bisnisnya dari hasil “berkebun emas.”
Kegiatan jual-beli maupun menggadaikan logam mulia bersertifikat
produk Antam untuk mendapatkan dana segar baru guna membeli lebih banyak
emas itu dilakukannya dengan tekun.
“Transaksi per harinya bisa sepuluh gram kalau harga emas lagi naik.
Saya menjual satu koin emas dan uangnya dipakai untuk membeli dua koin
emas. Ini saya lakukan terus-menerus sehingga saya bisa mengumpulkan
sampai 20 gram emas,” kata perempuan yang kini menjadi Ketua Dewan
Pimpinan Cabang Partai Gerindra.
Dalam menjalankan kegiatan bisnis rumah, tanah dan emas yang
diyakininya tetap berprospek baik ini, Novela memilih Bank Muamalat
sebagai mitra keuangan usahanya karena sistem Syariah dan bagi hasil
yang diterapkan bank tersebut terbukti menguntungkan.
“Bagaimana kita bisa saling menguntungkan, itu yang penting buat saya walau saya orang Kristen,” katanya.
Keberhasilan yang sementara ini telah dicapainya membuat hidupnya
relatif berkecukupan secara ekonomi, kondisi yang tak dirasakannya di
masa kanak-kanak hingga remaja. “Saya jatuh bangun tapi saya terus
melangkah karena ada cahaya di ujung lorong,” ujarnya.
Kondisi ekonomi keluarganya yang terbatas itu telah memaksa Novela
untuk senantiasa kreatif dan bekerja keras untuk meraih cita-cita.
“Saya bekerja apa saja untuk bisa bertahan dan meneruskan sekolah.
Sewaktu di sekolah dasar, saya jualan sayur mayur dan hasil-hasil kebun
yang lain di pasar. Lalu, saat masih duduk di bangku SMP, saya bekerja
sebagai tukang cuci pakaian,” katanya.
Tamat dari SMP, kehidupan Novela tidak lantas membaik sehingga dia
tidak punya banyak pilihan untuk menopang hidupnya. “Waktu duduk di
kelas dua SMA, saya pernah menjadi tukang ojek dengan menyasar para
penumpang wanita,” kata alumni SMA Negeri 1 Sentani.
Kegetiran hidup terus berlanjut hingga dia kuliah di Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura.
Seperti dituturkan Novela, selama di bangku kuliah, dia hanya
berbekal dua helai celana panjang dan lima potong baju saat kuliah.
Kondisi hidupnya itu tidak membuatnya patah semangat. Sebaliknya,
kreativitas anak tertua dari delapan bersaudara ini justru semakin
terbangun.
“Saya pernah membantu rekan kuliah saya menyelesaikan tugas papernya. Dari situ, saya mendapat Rp300 ribu,” kat dia.
“Saya melakukan semua ini karena, sebagai anak tertua, apa pun saya
tempuh dengan cara yang halal agar saya bisa menjadi contoh yang baik
bagi adik-adik saya,” Novela menambahkan.
Pahit getirnya hidup yang dia rasakan semasa sekolah membuatnya ringan untuk membantu sesama.
Bahkan, ibu satu anak yang harus menjadi orang tua tunggal setelah
ditinggal mati suami ini menerapkan filosofi “berbagi” dengan sebanyak
mungkin orang dari hasil usahanya.
“Cukup bagi saya kuliah dengan mengeluarkan air mata. Saya tidak
ingin anak-anak Papua yang lain mengalami hal serupa dengan yang pernah
saya alami dulu. Saya buat kolam kebaikan buat mereka,” kata dia.
Dari hasil bisnis, Novela lantas menyekolahkan dua anak asal Wamena
dan satu anak asal Paniai. Keduanya telah lulus pendidikan sarjana
bidang pendidikan dari Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STIKIP) Abdi Bangsa Paniai.
“Kini mereka sudah menjadi guru di pedalaman Papua. Membangun orang
Papua, terutama mereka yang berasal dari pedalamanan, harus dimulai dari
pembentukan karakter terlebih dahulu. Di sinilah pentingnya pendidikan.
Beri konseling ke anak-anak Papua supaya mereka tahu ke mana arah yang
benar,” katanya.
Sebagai pengusaha yang semasa kuliah pernah aktif dalam kegiatan
gereja dan gerakan perempuan, Novela mengatakan dia mendambakan kondisi
Papua yang maju dan sejahtera.
Dalam kaitan ini, mantan aktivis Ikatan Perempuan Pegunungan Tengah
ini menggarisbawahi pentingnya pembangunan infrastruktur jalan bermutu
yang dapat membuka akses berbagai wilayah di provinsi itu dengan
senantiasa memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.
Akses jalan yang terbatas tersebut, menurut dia, merupakan salah satu
akar permasalahan dari lambannya pembangunan di daerah pegunungan.
Akibatnya, harga berbagai barang kebutuhan rakyat di sana pun bisa dua
kali lipat dari daerah lain, katanya.
“Di Puncak Jaya, harga satu sak semen, misalnya, bisa mencapai Rp1,5
juta padahal di Jayapura hanya Rp80 ribu, di Nabire Rp120 ribu dan di
Paniai Rp175 ribu,” kata pengusaha yang menjalankan bisnisnya lewat CV
Iyobai ini.
Mempertimbangkan realitas infrastruktur yang ada selama ini dan
kondisi alam Papua, Novela memandang moda transportasi yang lebih tepat
untuk dikembangkan di Papua adalah kereta api.
“Kereta api ini merupakan solusi. Untuk itu perlu dibangun rel kereta
api karena keberadaan kereta api yang menjangkau wilayah-wilayah yang
ada merupakan masa depan Papua,” katanya.
Dalam pandangan perempuan pengusaha kelahiran Wamena ini, ekonomi dan
kesejahteraan merupakan kata kunci bagi penyelesaian masalah Papua.
“Kepercayaan rakyat tidak bisa dibeli dengan uang melainkan dengan
kerja-kerja nyata yang berorientasi pada kesejahteraan yang berkeadilan
bagi mereka,” katanya. (Twitter/Facebook/Antara/berbagai sumber)