Reporter : Didik Supriyanto | Selasa, 21 Januari 2014 13:10
Merdeka.com - Televisi
adalah salah satu jenis media massa yang mampu menjangkau hampir
seluruh penduduk Indonesia. Kalau media cetak hanya dinikmati kurang
dari 15 persen penduduk, radio kurang dari 30 persen, televisi angkanya
mencapai 90 persen.
Karena itu, kalau televisi bisa dijadikan sarana untuk mencerdaskan bangsa, maka sebaliknya media itu juga bisa digunakan untuk membodohi rakyat. Inilah yang tengah dilakukan oleh para pemilik stasiun televisi, yang melibatkan ribuan pekerja kreatif dan pengemas informasi.
Sebagaimana dikeluhkan banyak orang, kini semakin banyak acara televisi yang isinya hanya ngomong tidak karu-karuan sekadar membuat orang tertawa. Orang Yogya bilang, "cangkeman". Sesungguhnya ini sama dengan acara yang dulu juga banyak dikeluhkan: gambar setan-setanan, rekayasa berita kriminal, gosip artis tak berujung pangkal, hingga sinetron perusak akal sehat.
Pengelola televisi mengaku berhasil menghibur rakyat, terbukti rating acara tinggi. Di tengah kehidupan sehari-hari yang sulit, rakyat butuh hiburan, dan itu bisa diakukan dengan baik oleh televisi. Kalau rakyat senang, besoknya mereka bisa bergairah lagi dalam menghadapi tantangan hidup. Inilah kontribusi televisi dalam mempertahankan semangat hidup rakyat. Kira-kira begitu klaimnya.
Baiklah. Kita bisa menerima argumen itu: rakyat butuh hiburan, rakyat senang. Acara yang gagal memberi penghiburan rakyat, pasti tutup dengan sendirinya. Jadi, akhirnya rakyat juga yang menilai: sebuah acara patut ditonton atau tidak. Tak usah bicara acara yang mendidik. Memang baru segitu maunya rakyat. Biarlah mereka bersenang-senang. Tak perlu dibebani pesan macam-macam yang ujung-ujungnya mereka tolak juga.
Demi bertahan hidup dan demi kalkulasi bisnis (yang ditentukan oleh rating), fungsi hiburan televisi diutamakan. Itu tidak apa, toh undang-undang penyiaran juga menyebutkan fungsi hiburan. Soal fungsi lain (seperti pemberi informasi, pendidikan, dan kontrol sosial), tidak dijalankan, juga tidak ada masalah. Toh, undang-undang penyiaran tidak mengharuskan semua fungsi televisi dijalankan dengan seimbang.
Demikianlah, kita sudah lama mendegar alasan pemilik dan pengelola televisi, arti penting hiburan buat rakyat. Kita juga sudah lama mendengar argumentasi, pentingnya penonjolan fungsi hiburan, karena hanya dengan cara ini televisi bisa bertahan dan tumbuh bersama pemasang iklan. Kedua "doktrin" itu seakan sudah merasuki kesadaran kita, sehingga kita bisa menerima kehadiran acara televisi dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam setahun belakangan ini, kesadaran kita kembali diguncang-guncang oleh televisi, setelah layarnya disesaki adegan-adegan politik yang tidak pada tempatnya. Selain kontras dengan acara hiburan, gambar-gambar itu juga bikin penonton berpikir: betapa banyak orang gila di negeri ini, mau jadi pemimpin modalnya ngomong doang.
Mungkin inilah kombinasi strategi media yang paling tepat saat ini: di satu pihak, pengelola televisi bikin acara hiburan cangkeman; di pihak lain, pengelola televisi menyajikan adegan-adegan politik yang monoton. Silakan saja penonton marah-marah, toh tetap saja mau menonton karena sebentar lagi ada acara hiburan.
Siklus tersebut akan berakhir sampai presiden dan wakil presiden baru dilantik pada Oktober 2014 nanti. Karena kita sudah tahu jadwalnya, sudah bisa menebak perilaku para pengelola televisi, maka yang perlu dilakukan sederhana saja: menjaga kesadaran agar tidak ikut gila; silakan bodohi kami, tapi kami tidak akan ikut gila.
Jika kesadaran itu sudah tumbuh, maka kita juga tidak perlu kecewa, apalagi sakit hati mendengar pernyataan komisioner KPI, Bawaslu, dan KPU: tidak ada pelanggaran konten, juga tidak ada pelanggaran kampanye dalam siaran televisi kita. Biarlah mereka ikut-ikutan membodohi kita; tapi kita tidak perlu ikut gila karenanya.
Karena itu, kalau televisi bisa dijadikan sarana untuk mencerdaskan bangsa, maka sebaliknya media itu juga bisa digunakan untuk membodohi rakyat. Inilah yang tengah dilakukan oleh para pemilik stasiun televisi, yang melibatkan ribuan pekerja kreatif dan pengemas informasi.
Sebagaimana dikeluhkan banyak orang, kini semakin banyak acara televisi yang isinya hanya ngomong tidak karu-karuan sekadar membuat orang tertawa. Orang Yogya bilang, "cangkeman". Sesungguhnya ini sama dengan acara yang dulu juga banyak dikeluhkan: gambar setan-setanan, rekayasa berita kriminal, gosip artis tak berujung pangkal, hingga sinetron perusak akal sehat.
Pengelola televisi mengaku berhasil menghibur rakyat, terbukti rating acara tinggi. Di tengah kehidupan sehari-hari yang sulit, rakyat butuh hiburan, dan itu bisa diakukan dengan baik oleh televisi. Kalau rakyat senang, besoknya mereka bisa bergairah lagi dalam menghadapi tantangan hidup. Inilah kontribusi televisi dalam mempertahankan semangat hidup rakyat. Kira-kira begitu klaimnya.
Baiklah. Kita bisa menerima argumen itu: rakyat butuh hiburan, rakyat senang. Acara yang gagal memberi penghiburan rakyat, pasti tutup dengan sendirinya. Jadi, akhirnya rakyat juga yang menilai: sebuah acara patut ditonton atau tidak. Tak usah bicara acara yang mendidik. Memang baru segitu maunya rakyat. Biarlah mereka bersenang-senang. Tak perlu dibebani pesan macam-macam yang ujung-ujungnya mereka tolak juga.
Demi bertahan hidup dan demi kalkulasi bisnis (yang ditentukan oleh rating), fungsi hiburan televisi diutamakan. Itu tidak apa, toh undang-undang penyiaran juga menyebutkan fungsi hiburan. Soal fungsi lain (seperti pemberi informasi, pendidikan, dan kontrol sosial), tidak dijalankan, juga tidak ada masalah. Toh, undang-undang penyiaran tidak mengharuskan semua fungsi televisi dijalankan dengan seimbang.
Demikianlah, kita sudah lama mendegar alasan pemilik dan pengelola televisi, arti penting hiburan buat rakyat. Kita juga sudah lama mendengar argumentasi, pentingnya penonjolan fungsi hiburan, karena hanya dengan cara ini televisi bisa bertahan dan tumbuh bersama pemasang iklan. Kedua "doktrin" itu seakan sudah merasuki kesadaran kita, sehingga kita bisa menerima kehadiran acara televisi dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam setahun belakangan ini, kesadaran kita kembali diguncang-guncang oleh televisi, setelah layarnya disesaki adegan-adegan politik yang tidak pada tempatnya. Selain kontras dengan acara hiburan, gambar-gambar itu juga bikin penonton berpikir: betapa banyak orang gila di negeri ini, mau jadi pemimpin modalnya ngomong doang.
Mungkin inilah kombinasi strategi media yang paling tepat saat ini: di satu pihak, pengelola televisi bikin acara hiburan cangkeman; di pihak lain, pengelola televisi menyajikan adegan-adegan politik yang monoton. Silakan saja penonton marah-marah, toh tetap saja mau menonton karena sebentar lagi ada acara hiburan.
Siklus tersebut akan berakhir sampai presiden dan wakil presiden baru dilantik pada Oktober 2014 nanti. Karena kita sudah tahu jadwalnya, sudah bisa menebak perilaku para pengelola televisi, maka yang perlu dilakukan sederhana saja: menjaga kesadaran agar tidak ikut gila; silakan bodohi kami, tapi kami tidak akan ikut gila.
Jika kesadaran itu sudah tumbuh, maka kita juga tidak perlu kecewa, apalagi sakit hati mendengar pernyataan komisioner KPI, Bawaslu, dan KPU: tidak ada pelanggaran konten, juga tidak ada pelanggaran kampanye dalam siaran televisi kita. Biarlah mereka ikut-ikutan membodohi kita; tapi kita tidak perlu ikut gila karenanya.
[tts]