Dr. Irsyal Rusad. Sp.PD
Spesialis Penyakit Dalam Lulusan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Anggota Persatuan Ahli Penyakit
Dalam Infonesia ( PAPDI) dan Pengurus PAPDI Cabang Riau. Berminat dalam
bidang Healthy Life, Healthy Aging, dan Diabetes Mellitus.
Penulis : Dr. Irsyal Rusad. Sp.PD |
Kamis, 7 Maret 2013 | 17:27 WIB
KOMPAS.com —
Kita sering menyalahkan usia yang mulai tua untuk begitu saja menerima
kebiasaan pelupa yang kita alami. Karena tua, Anda dapat dengan mudah
memaklumi. Misalnya, seseorang yang baru saja Anda kenal beberapa menit
kemudian tidak ingat namanya lagi. Nama-nama cucu pun kadang-kadang
seperti sudah di ujung lidah, tetapi tidak ingat, apalagi hari
kelahirannya, dan Anda anggap itu tidak masalah.
Karena merasa tua, Anda kemudian tidak
mudah lagi belajar sesuatu. Apalagi hal-hal yang baru. Bila Anda seorang
Muslim, menghafalkan satu ayat yang baru susahnya bukan main. Ayat-ayat
yang selama ini lancar Anda baca waktu shalat, misalnya, sekarang sudah
mulai tergagap-gagap dan Anda menerimanya begitu saja. Usia dijadikan
alasan untuk itu. Anda kemudian berpikir, wajarlah, kan usia saya sudah
tua.
Karena alasan usia tua, Anda kemudian jadi malas, membaca pun jarang, Anda tidak lagi dapat mengikuti perkembangan di lingkungan Anda dan bahkan dunia luar. Lalu Anda merasa otak Anda madal, tumpul, dan kemudian Anda menjadi bodoh, dan itu Anda pikir normal-normal saja.
Banyak saya lihat, orang-orang yang merasa dirinya tua mulai punya sikap demikian. Seolah-olah menyerah begitu saja dengan penurunan fungsi intelektual otaknya. Padahal, di sisi lain, banyak juga para usia lanjut yang masih tetap cerdas, cemerlang otaknya. Banyak contoh orang-orang terkenal berusia lanjut yang meraih doktor saat usia mereka lebih dari 70 tahun.
Ada penulis novel terkenal dunia yang baru menulis setelah umur mereka berkepala 7. Hamka juga kabarnya menyelesaikan tafsir monumentalnya di penjara dan usia beliau lebih dari 65 tahun. Nelson Mandela masih mampu memimpin Afrika Selatan saat usianya di atas 80 tahun. Hmmm... tidak usah jauh-jauh melihat. Kompasianer Isk-harun, 78 tahun; Thamrin Dahlan, 65 tahun, yang rajin blusukan bersama-sama dengan Dian Kelana, si fotografer andal; dan kabarnya Bu Rokhmah yang sering bercerita tentang anaknya, Amri, adalah beberapa Kompasianer yang saya kenal cukup rajin menulis pada saat usia tidak muda lagi. Nah, sementara di usia yang sama, banyak dari mereka yang tidak bisa lagi berhitung, menulis, tidak mampu lagi berbicara di depan umum, dan bahkan tidak tahu lagi jalan pulang ke rumah.
Kemudian, tentu ada yang bertanya, "Mengapa sebagian mereka yang menua menjadi bodoh, otaknya tumpul, intelektualnya menurun, tetapi pada sebagian lain, ibaratkan tungku, lilin dia tetap menyala, tetap cemerlang?"
Jawabannya sebenarnya sangat sederhana, "Yang otaknya masih cemerlang, tetap menyala, itu karena mereka selalu menjaganya agar tetap sehat."
Lantas, "Bagaimana caranya agar otak kita, yang ada di antara dua telinga kita itu, walaupun usia terus beranjak tua, tapi masih dan selalu sehat, istilah kerennya healthy brain, dapat dipertahankan, atau tetap cemerlang?"
"Bagaimana kiatnya sehingga Einstein masih tetap cerdas sampai akhir hayatnya, Hamka masih dapat mengarang buku, menulis tafsir, dan hafal Al Quran di usia senjanya? Atau dengan kata lain, otaknya tetap sehat?" Tidak seperti kita yang semakin bodoh seiring bertambah lanjutnya usia kita?"
Menurut beberapa penelitian, otak kita itu seperti otot. Prinsip use it or you lose it, sebagaimana berlaku untuk otot kita, berlaku juga bagi otak kita. Seperti otot, seiring dengan bertambahnya usia, dada kita yang bidang sedikit demi sedikit akan berkurang, lengan yang berotot jadi mengecil, dan paha yang kokoh kuat menciut rapuh.
Apa sebabnya demikian?
Karena kita tidak lagi menggunakannya dengan baik. Otot-otot itu kita biarkan manja, menganggur. Kita lebih banyak duduk, santai di atas sofa, atau berbaring di tempat tidur. Karena itu, otot-otot kita semakin mengecil dengan bertambahnya usia kita.
Tetapi, penelitian menunjukkan, bila otot-otot itu tetap digunakan, Anda rajin melangkah, berlari, berenang, latihan peregangan, dan pembebanan, otot-otot Anda akan tetap tumbuh dan berkembang. Dan, itu semua tidak tergantung dengan umur Anda. Maka tidak perlu heran, ada pelari triatlon yang sudah menginjak usia di atas 70 tahun, dan dia tidak kalah dengan pelari yang jauh lebih muda. Pesenam Johanna Quaas masih melakukan senam akrobatiknya pada usia 86 tahun.
Otak kita juga begitu, bahkan lebih hebat lagi dibanding otot. Semakin sering Anda gunakan, akan semakin lama pula dia dengan baik menjadi teman Anda. Bila otot ada batas maksimalnya, dapat mengalami cedera bila digunakan berlebihan, otak tidak demikian. Hubungan sinapsis antara sel-sel otak tidak akan pernah terputus karena Anda belajar, menulis, membaca, dan sebagainya. Tidak ada orang kemudian menjadi bodoh karena rajin belajar. Bahkan, rangsangan-rangsangan yang selalu Anda berikan kepada otak Anda membuat otak itu tetap muda, cemerlang, dan sehat.
Jadi, agar Anda tidak semakin bodoh seiring dengan bertambahnya usia, maka tetaplah menggunakannya. Berikanlah rangsangan-rangsangan setiap hari agar hubungan-hubungan sinapsis sel saraf Anda tidak jadi mandek, tidak terputus, bahkan sebaliknya tumbuh hubungan-hubungan, sel-sel baru. Untuk mencapai itu, banyak hal yang dapat Anda lakukan, seperti belajar, membaca, menulis, menghafal, melakoni hobi-hobi baru, mencoba pekerjaan yang menantang, rekreasi, memperbanyak hubungan sosial, termasuk memperbanyak teman, olahraga teratur, dan memilih makanan yang sehat. Nah, itu semua pilihan Anda.
Bila otot ada batas maksimalnya, dapat mengalami cedera bila digunakan berlebihan, otak tidak demikian.
Karena alasan usia tua, Anda kemudian jadi malas, membaca pun jarang, Anda tidak lagi dapat mengikuti perkembangan di lingkungan Anda dan bahkan dunia luar. Lalu Anda merasa otak Anda madal, tumpul, dan kemudian Anda menjadi bodoh, dan itu Anda pikir normal-normal saja.
Banyak saya lihat, orang-orang yang merasa dirinya tua mulai punya sikap demikian. Seolah-olah menyerah begitu saja dengan penurunan fungsi intelektual otaknya. Padahal, di sisi lain, banyak juga para usia lanjut yang masih tetap cerdas, cemerlang otaknya. Banyak contoh orang-orang terkenal berusia lanjut yang meraih doktor saat usia mereka lebih dari 70 tahun.
Ada penulis novel terkenal dunia yang baru menulis setelah umur mereka berkepala 7. Hamka juga kabarnya menyelesaikan tafsir monumentalnya di penjara dan usia beliau lebih dari 65 tahun. Nelson Mandela masih mampu memimpin Afrika Selatan saat usianya di atas 80 tahun. Hmmm... tidak usah jauh-jauh melihat. Kompasianer Isk-harun, 78 tahun; Thamrin Dahlan, 65 tahun, yang rajin blusukan bersama-sama dengan Dian Kelana, si fotografer andal; dan kabarnya Bu Rokhmah yang sering bercerita tentang anaknya, Amri, adalah beberapa Kompasianer yang saya kenal cukup rajin menulis pada saat usia tidak muda lagi. Nah, sementara di usia yang sama, banyak dari mereka yang tidak bisa lagi berhitung, menulis, tidak mampu lagi berbicara di depan umum, dan bahkan tidak tahu lagi jalan pulang ke rumah.
Kemudian, tentu ada yang bertanya, "Mengapa sebagian mereka yang menua menjadi bodoh, otaknya tumpul, intelektualnya menurun, tetapi pada sebagian lain, ibaratkan tungku, lilin dia tetap menyala, tetap cemerlang?"
Jawabannya sebenarnya sangat sederhana, "Yang otaknya masih cemerlang, tetap menyala, itu karena mereka selalu menjaganya agar tetap sehat."
Lantas, "Bagaimana caranya agar otak kita, yang ada di antara dua telinga kita itu, walaupun usia terus beranjak tua, tapi masih dan selalu sehat, istilah kerennya healthy brain, dapat dipertahankan, atau tetap cemerlang?"
"Bagaimana kiatnya sehingga Einstein masih tetap cerdas sampai akhir hayatnya, Hamka masih dapat mengarang buku, menulis tafsir, dan hafal Al Quran di usia senjanya? Atau dengan kata lain, otaknya tetap sehat?" Tidak seperti kita yang semakin bodoh seiring bertambah lanjutnya usia kita?"
Menurut beberapa penelitian, otak kita itu seperti otot. Prinsip use it or you lose it, sebagaimana berlaku untuk otot kita, berlaku juga bagi otak kita. Seperti otot, seiring dengan bertambahnya usia, dada kita yang bidang sedikit demi sedikit akan berkurang, lengan yang berotot jadi mengecil, dan paha yang kokoh kuat menciut rapuh.
Apa sebabnya demikian?
Karena kita tidak lagi menggunakannya dengan baik. Otot-otot itu kita biarkan manja, menganggur. Kita lebih banyak duduk, santai di atas sofa, atau berbaring di tempat tidur. Karena itu, otot-otot kita semakin mengecil dengan bertambahnya usia kita.
Tetapi, penelitian menunjukkan, bila otot-otot itu tetap digunakan, Anda rajin melangkah, berlari, berenang, latihan peregangan, dan pembebanan, otot-otot Anda akan tetap tumbuh dan berkembang. Dan, itu semua tidak tergantung dengan umur Anda. Maka tidak perlu heran, ada pelari triatlon yang sudah menginjak usia di atas 70 tahun, dan dia tidak kalah dengan pelari yang jauh lebih muda. Pesenam Johanna Quaas masih melakukan senam akrobatiknya pada usia 86 tahun.
Otak kita juga begitu, bahkan lebih hebat lagi dibanding otot. Semakin sering Anda gunakan, akan semakin lama pula dia dengan baik menjadi teman Anda. Bila otot ada batas maksimalnya, dapat mengalami cedera bila digunakan berlebihan, otak tidak demikian. Hubungan sinapsis antara sel-sel otak tidak akan pernah terputus karena Anda belajar, menulis, membaca, dan sebagainya. Tidak ada orang kemudian menjadi bodoh karena rajin belajar. Bahkan, rangsangan-rangsangan yang selalu Anda berikan kepada otak Anda membuat otak itu tetap muda, cemerlang, dan sehat.
Jadi, agar Anda tidak semakin bodoh seiring dengan bertambahnya usia, maka tetaplah menggunakannya. Berikanlah rangsangan-rangsangan setiap hari agar hubungan-hubungan sinapsis sel saraf Anda tidak jadi mandek, tidak terputus, bahkan sebaliknya tumbuh hubungan-hubungan, sel-sel baru. Untuk mencapai itu, banyak hal yang dapat Anda lakukan, seperti belajar, membaca, menulis, menghafal, melakoni hobi-hobi baru, mencoba pekerjaan yang menantang, rekreasi, memperbanyak hubungan sosial, termasuk memperbanyak teman, olahraga teratur, dan memilih makanan yang sehat. Nah, itu semua pilihan Anda.
Editor :
Asep Candra