Kamis, 13 Februari 2014, 14:59 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Peristiwa tersebarnya rekaman video
yang berisi kejadian Ustaz Hariri menginjak kepala seorang panitia sound
system dalam sebuah ceramahnya, membuat para tokoh Islam ikut
berkomentar. Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yaqub mengatakan
fenomena Hariri karena masyarakat cenderung memilih ustaz atau dai yang
populer dibandingkan dai yang berilmu.
Ia menilai masyarakat juga punya andil membiarkan dai yang salah karena cenderung memilih dai populer. Sebelum beredarnya rekaman video Hariri, menurutnya citra mubaligh sudah rusak.
Mengutip Alquran Surah Yasin ayat 21, Ali mengatakan dai yang minta imbalan itu merusak dan tidak perlu diikuti. Bahkan ia juga meminta diingatkan jika hal-hal yang tidak baik yang pernah dilakukannya.
Sebenarnya, mekanisme saling mengingatkan bisa dilakukan para dai jika tergabung dalam lembaga dakwah. Mereka juga akan dibekali secara moral dan keilmuan. "Dai-dai memilih lepas sendiri itu cenderung merasa super. Masyarakat menyanjung-nyanjung pula. Dipuji-puji ketika belum saatnya memunculkan penyakit hati," kata Ali.
Ia meminta masyarakat untuk tidak berlebihan memandang dan mengukur dai dari seberapa lebar sorbannya. Ia pernah mendapat laporan dari Kalimantan, ada dai dari Jakarta yang mengumpulkan dana dengan membuat jamaah seolah-olah terhipnotis agar mau menyerahkan perhiasan dan uang mereka.
"Masyarakat dibodohi dengan penampilan dan popularitas. Padahal asal ada uang, popularitas bisa dibentuk," ungkap Ali.
Ia menekankan masyarakat untuk tidak menuruti dai yang meminta imbalan apalagi memasang tarif. Ia tak habis pikir dengan masyarakat yang berbangga dapat mengundang dai dengan tarif mahal. Masyarakat diimbau agar tidak membedakan mana yang berilmu dan mana yang hanya populer.
Ia menilai masyarakat juga punya andil membiarkan dai yang salah karena cenderung memilih dai populer. Sebelum beredarnya rekaman video Hariri, menurutnya citra mubaligh sudah rusak.
Mengutip Alquran Surah Yasin ayat 21, Ali mengatakan dai yang minta imbalan itu merusak dan tidak perlu diikuti. Bahkan ia juga meminta diingatkan jika hal-hal yang tidak baik yang pernah dilakukannya.
Sebenarnya, mekanisme saling mengingatkan bisa dilakukan para dai jika tergabung dalam lembaga dakwah. Mereka juga akan dibekali secara moral dan keilmuan. "Dai-dai memilih lepas sendiri itu cenderung merasa super. Masyarakat menyanjung-nyanjung pula. Dipuji-puji ketika belum saatnya memunculkan penyakit hati," kata Ali.
Ia meminta masyarakat untuk tidak berlebihan memandang dan mengukur dai dari seberapa lebar sorbannya. Ia pernah mendapat laporan dari Kalimantan, ada dai dari Jakarta yang mengumpulkan dana dengan membuat jamaah seolah-olah terhipnotis agar mau menyerahkan perhiasan dan uang mereka.
"Masyarakat dibodohi dengan penampilan dan popularitas. Padahal asal ada uang, popularitas bisa dibentuk," ungkap Ali.
Ia menekankan masyarakat untuk tidak menuruti dai yang meminta imbalan apalagi memasang tarif. Ia tak habis pikir dengan masyarakat yang berbangga dapat mengundang dai dengan tarif mahal. Masyarakat diimbau agar tidak membedakan mana yang berilmu dan mana yang hanya populer.
Reporter : Fuji Pratiwi |
Redaktur : Bilal Ramadhan |