Selasa, 25 Februari 2014 | 10:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Jaringan Advokasi untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Aida Milasari mengatakan sebanyak 50 persen PRT di Indonesia mengalami perlakuan kekerasan dan pelecehan dari majikannya. "Ini
akibat tidak kunjung dibahas dan disahkannya undang-undang perlindungan
PRT oleh pemerintah dan DPR,"kata Aida pada Senin, 24 Februari 2014
usai jumpa pers di kantor LBH, Jakarta.
Aida menuturkan JALA PRT dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menuntut pembahasan undang-undang perlindungan PRT sejak 7 tahun lalu. Sampai saat ini draft pembahasan undang-undang tersebut tak kunjung dibahas. Padahal undang-undang perlindungan untuk PRT termasuk dalam program legislatif yang tergolong prioritas sejak 2010. Begitu pula pada 2011, 2012 dan 2013.
"Kekerasan yang dialami PRT tidak lepas dari kontribusi DPR yang tak kunjung undang-undang perlindungan PRT," kata anggota JALA PRT Akbar Tanjung dalam kesempatan yang sama.
Menurut Aida, komisi IX telah bekerja dengan baik dalam hal ini. Namun pembahasan undang-undang mandeg di Badan Legislatif. Di negara lain seperti Filipina, Belanda, Norwegia dan Afrika Selatan sudah ada undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga. Padahal anggota DPR, kata Aida, sudah melakukan kunjungan kerja ke Belanda dan Norwegia untuk undang-undang perlindungan PRT. Namun sampai saat ini, undang-undang tersebut masih belum dibahas.
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh istri Brigadir Jenderal Polisi (Purnawirawan) Mangisi Situmorang terhadap PRT-nya merupakan salah satu contoh dari 50 persen PRT yang mendapatkan perlakuan kekerasan di Indonesia. PRT mengalami tindak semena-mena dari majikannya berupa gaji ditahan karena penyalur PRT meminta diberikan Rp 1,2 juta oleh majikan, pelecehan seksual, penyekapan, bahkan trafficking.
Berbagai perlakuan tidak adil terhadap PRT ini juga akibat banyaknya penyalur PRT yang tidak berizin. "50 persen dari 1.200 penyalur yang ada di Indonesia itu nggak benar. Mereka nggak punya ijin, menyalurkan PRT tanpa kontrak kerja dan tanpa kesepakatan dengan majikan,"kata Aida.
Menurut Aida, PRT layaknya buruh lainnya perlu diberikan ketentuan, aturan dan payung hukum dari pemerintah.
APRILIANI GITA FITRIA
Aida menuturkan JALA PRT dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menuntut pembahasan undang-undang perlindungan PRT sejak 7 tahun lalu. Sampai saat ini draft pembahasan undang-undang tersebut tak kunjung dibahas. Padahal undang-undang perlindungan untuk PRT termasuk dalam program legislatif yang tergolong prioritas sejak 2010. Begitu pula pada 2011, 2012 dan 2013.
"Kekerasan yang dialami PRT tidak lepas dari kontribusi DPR yang tak kunjung undang-undang perlindungan PRT," kata anggota JALA PRT Akbar Tanjung dalam kesempatan yang sama.
Menurut Aida, komisi IX telah bekerja dengan baik dalam hal ini. Namun pembahasan undang-undang mandeg di Badan Legislatif. Di negara lain seperti Filipina, Belanda, Norwegia dan Afrika Selatan sudah ada undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga. Padahal anggota DPR, kata Aida, sudah melakukan kunjungan kerja ke Belanda dan Norwegia untuk undang-undang perlindungan PRT. Namun sampai saat ini, undang-undang tersebut masih belum dibahas.
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh istri Brigadir Jenderal Polisi (Purnawirawan) Mangisi Situmorang terhadap PRT-nya merupakan salah satu contoh dari 50 persen PRT yang mendapatkan perlakuan kekerasan di Indonesia. PRT mengalami tindak semena-mena dari majikannya berupa gaji ditahan karena penyalur PRT meminta diberikan Rp 1,2 juta oleh majikan, pelecehan seksual, penyekapan, bahkan trafficking.
Berbagai perlakuan tidak adil terhadap PRT ini juga akibat banyaknya penyalur PRT yang tidak berizin. "50 persen dari 1.200 penyalur yang ada di Indonesia itu nggak benar. Mereka nggak punya ijin, menyalurkan PRT tanpa kontrak kerja dan tanpa kesepakatan dengan majikan,"kata Aida.
Menurut Aida, PRT layaknya buruh lainnya perlu diberikan ketentuan, aturan dan payung hukum dari pemerintah.
APRILIANI GITA FITRIA