24th April 2015 , 10:04 PM
Sumber Foto: Jokowi "Harus Berdiri Paling depan", Hamodia.com
Setelah beberapa bulan menjabat, Presiden Indonesia Joko Widodo tidak hendak membuat semua orang senang, dalam artian dalam bisnis keuntungan yang dicari dalam deal per deal basis, bukan kesenangan satu pihak pada pihak lainnya. Oleh karena itulah term politik bebas aktif di era pendahulunya hingga pada Presiden Soeharto, kini digantikan lain, yakni "agresif profit"
Ini diperlihatkan Jokowi dalam diktumnya yang terkenal, "Untuk apa Indonesia mengikuti kegiatan pertemuan kepala negara jika berdiri paling pinggir, atau berposisi di belakang barisan."Satu hal yang memberikan dirinya momentum pada saat Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (22/04). Pria asal Solo yang masa kecilnya senang bermain di tepian kali dalam kemiskinan umumnya orang Indonesia ini, mengkritik PBB, Bank Dunia, dan Dana Moneter Internasional (IMF), seolah tercabut rasa takutnya pada blok blok besar politik dan ekonomi dunia tersebut.Jokowi bahkan telah meneken tinta dalam meningkatkan anggaran pertahanan, menaikkan upah tentara, dan memastikan jajaran militer mengupgrade alutista, di mana sebelumnya dirinya melalui Menteri Pudjiastuti memerintahkan kapal asing yang disita karena kasus ikan ilegal untuk dihancurkan, dan yang paling ramai diberitakan media asing, Jokowi menolak memberikan grasi pada dua penyelundup narkoba Australia yang minggu ini siap di eksekusi, walaupun bisa merusak hubungan pertetanggaan dengan beberapa negara.Tindakan Jokowi ini jauh kontras dengan motto mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki diktum "satu juta teman dan nol musuh," di mana Indonesia berharap recehan datang, meskipun menjadi negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, dan negara keempat terpadat di dunia.
Diplomasi Indonesia Berhenti Bersolek Memoles Citra ManisSementara Jokowi, tulis Bloomberg, ingin Indonesia menjadi lebih bold, lebih garis tebal bagai dipulas crayon hitam, jelas terlihat, dengan kebijakan luar negeri proaktif dicampur agenda ambisius untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi."Jokowi tampaknya tidak takut membuat musuh demi prioritas domestik lebih lanjut, bahkan tidak pernah terbayangkan SBY bisa mengkritik IMF dan PBB (Sebagaimana Jokowi)," jelas Philips J. Vermonte, kepala politik dan hubungan internasional di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Jakarta, seraya menambahkan bahwa kebijakan nol musuh itu memang omong kosong, karena aura pencitraan politik tidak akan mempan di bawa dalam kebijakan luar negeri.
"Diplomasi bukan hanya tentang prestise." Tukas Vermonte.Jokowi misalnya, sarjana kehutanan yang juga aktif sebagai mapala selagi mahasiswa itu tampak santai dan percaya diri diapit oleh para pemimpin dunia, termasuk pemimpin yang tengah berseteru, China dan Jepang selama konferensi di Jakarta,
Dalam pidato pembukaan pada KAA, Jokowi menyerukan adanya reformasi PBB untuk mengatasi ketidakadilan global dimulai dari pendudukan Palestina. Juga menolak gagasan bahwa kemiskinan global hanya bisa diselesaikan dengan tiga pemberi pinjaman multilateral utama asal Barat yang baginya "basi,". Lalu Jokowi menyerukan negara-negara berkembang harus membangun lembaga ekonomi baru untuk menghindari dominasi negara tertentu.Adapun, Tirta Mursitama, profesor hubungan internasional di Universitas Bina Nusantara di Jakarta, mengatakan "Pemerintahan Jokowi tahu bahwa 'jutaan teman dan nol musuh' terdengar indah, tapi itu mustahil. Ada di tengah-tengah dua negara raksasa lalu duduk manis, setiap negara harus bersandar ke salah satu kubu terkuat untuk mendapatkan lebih banyak manfaat." jelasnya.
Maka dari itulah Jokowi menyeru Indonesia akan masuk ke tatanan ekonomi baru, dan bergabung sebagai salah satu pendiri Bank Infrastruktur Asia yang digagas China di mana Bank ini telah mendapatkan dukungan dari lebih dari 50 negara termasuk Australia dan Inggris, meskipun AS mati matian menolaknya.
Jokowi juga mempercepat hukuman mati bagi penyelundup narkoba setelah absen di bawah SBY. Efeknya, Brasil dan Belanda memanggil duta besar dari Indonesia setelah warganya diekseksui pada bulan Januari llau. Presiden Brasil Dilma Rousseff bahkan menolak untuk menerima mandat Dubes Indonesia dan Indonesia lantas menarik duta besarnya.
Kembali Ingat Soekarno
Jokowi juga galak di lautan setelah menenggelamkan kapal kapal Vietnam dan Filipina dalam memerangi illegal fishing, termasuk menyasar kapal besar dari China yang punya klik politik kuat di Indonesia. Bahkan saat ini Jokowi berusaha untuk menghindari terjebak dalam ketegangan teritorial China dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya di Laut Cina Selatan. Kebijakan Luar Negeri Jokowi terlihat impulsif dan tidak bisa ditebak lawan lawannya.
Akan tetapi, tulis Bloomberg, retorika Jokowi malah mengingatkan kembali pada sosok Soekarno, presiden pertama Indonesia, bapak bangsa di mana Jokowi aktif dalam partai politik heritensi dari partai politik Soekarno, PNI unsur yang terlibat pada pembentukan PDIP.
Soekarno juga berdiri paling depan menantang segala dominasi negara besar, yang dia sebut sebagai "imperialisme modern" pada saat Konferensi Asia Afrika di Jawa Barat pada tahun 1955. Akhirnya KAA menjadi ajang persatuan post kolonialis melawan bekas penjajahnya, dan meletakkan dasar untuk gerakan non-blok, yakni kelompok negara yang tidak secara formal bersekutu dengan blok utama selama Perang Dingin.Pidato Jokowi sebut Greg Fealy, profesor politik Universitas Nasional Australia di Canberra. "Menegaskan kembali dengan jenis retorika yang tidak kita lihat lagi sejak awal 1960-an, meskipun tanpa api Sukarno. Saya rasa Jokowi adalah seorang pengamat yang sangat canggih dalam melihat peristiwa internasional, dan memiliki ide-ide yang kuat tentang bagaimana dunia bekerja." jelasnya. Greg melanjutkan bahwa Jokowi meyakini sendiri kebenaran dari pandangan yang diungkapkan pada KAA, "Tentu saja juga ada hubungannya dengan suasana nasionalisme yang terlihat menguat di Indonesia." pungkasnya.***Red
Sumber: www.fiskal.co.id