HL
| 08 May 2014 | 17:06
Dibaca:
725
Komentar: 13
12
Waktu ngeliat Bupati Bantaeng diwawancara di acara Mata Najwa, saya
langsung kagum. Kenapa? Begini ceritanya: Konon Nurdin Abdullah tidak
pernah bermimpi menjadi bupati Kabupaten Bantaeng. Masyarakatlah yang
mendesak pria kelahiran Pare-Pare, 7 November 1963 ini,
sehingga akhirnya memutuskan menjadi orang nomor satu di kabupaten yang
terletak di pesisir Sulawesi Selatan itu.
Sebelum menjadi bupati, Nurdin menduduki posisi sebagai presiden
direktur di empat perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal Jepang,
yaitu PT Maruki Internasional Indonesia, Hakata Marine Indonesia, Hakata
Marine Hatchery, dan Kyushu Medical Co Ltd. Kepada Najwa Shihab, Nurdin
mengatakan bahwa gaji per bulannya sebagai presdir setara dengan gaji
bupati selama 20 tahun. Ck…ck…ck…
Dan sepak terjangnya sungguh mencengangkan. Bantaeng yang tadinya
langganan banjir langsung teratasi dengan dibangunnya waduk yang
menampung curah hujan yang tinggi. Rumah sakit modern setinggi 8 lantai
selesai dibangun. Bahkan daerah-daerah sekitar pantai yang tadinya
terlihat kumuh, sekarang telah menjelma menjadi obyek wisata yang
cantik.
Salah satu dialog yang cukup membekas di hati saya adalah ketika Nurdin
berkata, “Saya lama tinggal di Jepang. Sedikit banyak saya ketularan
juga dengan sikap hidup mereka.”
“Sikap hidup seperti apa itu?” tanya Najwa Shihab.
“Orang Jepang itu gengsinya rendah dan malunya tinggi.”
Sebuah kalimat yang sangat inspiratif dan sedikit banyak membuka mata
saya terhadap nilai-nilai hidup. Secara umum, bukan cuma di Jepang yang
menganut paham ini, di semua negara maju rata-rata filosofi ini
dikedepankan.
Saya masih ingat bagaimana wakil kepala sekolah di Korea sampe bunuh
diri karena malu dan merasa bersalah ketika murid-muridnya tenggelam
bersama kapal Feri yang sedang ditumpangi dalam acara darmawisata
sekolah. Bahkan Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won pun segera
mengumumkan pengunduran dirinya menyusul banyaknya kritik soal respons
pemerintah dalam menangani bencara tersebut.
Gila ya? Gengsinya rendah dan malunya tinggi. Coba bayangin sama
peristiwa sodomi di Sekolah Internasional JIS Jakarta? Jangankan menteri
mengundurkan diri, guru-gurunya aja ga ada satu pun yang mau ngaku
salah. Selalu argumentasinya “Itu kan oknum”. Begitu juga tewasnya Dimas
mahasiswa STIP yang digebukin seniornya? Boro-boro menterinya, kepala
sekolahnya juga ga mau ngaku salah. Jawabannya selalu sama “Oknum”.
Gengsinya rendah dan malunya tinggi ini sebenernya udah tercermin dalam
budaya harakiri di Jepang. Harakiri juga merupakan implementasi dari
menebus rasa malu dan kegagalan dalam melakukan tugas. Budaya ini sudah
dianut sejak jaman dulu kala, sehingga kita bisa memahami bagaimana
orang Jepang sangat menjunjung martabatnya sebagai manusia.
Jadi ga perlu heran kalo kita mendengar ada seorang menteri di kabinet
Jepang mengundurkan diri cuma gara-gara salah seorang stafnya ketauan
korupsi. Mereka ga pernah berusaha berlindung di bawah alasan kata
“oknum.”
Nah, pernah ga ngedenger ada pejabat di Indonesia yang mengundurkan diri
gara-gara stafnya korupsi? Di negeri kita, boro-boro mengundurkan diri,
orang yang udah ada di penjara aja masih dilantik sebagai pejabat
publik. Edannya lagi, acara pelantikannya pun diselenggarakan di
penjara. Yang ngelantik udah gila, yang dilantik ga punya malu. Pokoknya
kan jadi pejabat. Pokoknya kan gengsi naik. Soal malu mah muka udah
kapalan.
Belakangan ini saya lagi suka banget nonton acara The Voice di AXN. Buat
saya acara ini lebih bermutu daripada acara American Idol. Kenapa?
Karena pesertanya memang dipilih, jadi bukan ngedaftar terus ngantri
audisi kayak di acara Idol-idol lainnya. Makanya secara umum pesertanya
emang udah jadi penyanyi beneran.
Yang saya kagum banget adalah ada begitu banyak peserta yang kualitas
suaranya kelas dunia tapi pekerjaan sehari-harinya berbanding terbalik
dengan kehidupan dunia glamour. Misalnya ada yang kerjanya ngangkat dan
membungkus barang di Supermarket, ada yang kerjanya sebagai The Nanny
alias pengasuh anak. Ada yang jadi tukang cat. Ada yang ngamen di
jalan-jalan, ada yang jadi montir di bengkel kecil dan masih banyak
lagi.
Sebetulnya kedengerannya biasa aja kan? Tapi sebagai mantan pemusik,
saya punya banyak temen yang merasa dirinya seniman, dan gilanya kata
’seniman’ itu dia jadikan alasan untuk ga mau kerja. Misalnya temen saya
Herman. Dia selalu bilang kalo dia pemusik dan pencipta lagu. Tapi
jarang banget dia ditanggap sebagai pemusik, kalo ada pun itu cuma acara
kawinan atau sunatan di kampung-kampung yang notabene penyeleggaranya
adalah temen nongkrongnya juga.
Herman ngabisin waktunya dengan nongkrong di pusat kesenian atau
gelanggang remaja. Tiap hari kerjanya gitaran dan bernyanyi. Saat itu
dia sedang menyanyikan lagu ciptaannya yang bercerita tentang cinta
seorang seniman yang ditolak oleh wanita idamannya. Gayanya penuh
penghayatan, seakan-akan dia sedang manggung di Madison Square Garden.
Padahal lagunya lagu cengeng dan suara serta main gitarnya juga
pas-pasan.
Menurut Herman, dia udah nyiptain lebih dari 300 lagu, ck…ck…ck… hebat
ya? Tapi sayangnya ga ada satu pun produser atau artis yang mau ngerekam
apalagi membeli lagunya. Hadeuh!
Kalo laper dia ngutang makan di warung. Karena utangnya udah kebanyakan,
sering dia ga diizinkan lagi buat ngutang, nah apa yang dilakukannya?
Dia minjem duit atau minta traktir sama temennya yang kebetulan juga
lagi makan. Begitu deh kegiatannya sehari-hari. Beda banget sama peserta
The Voice yang saya ceritakan di atas.
Saya suggguh gemes ngeliat kelakuannya. Beberapa kali saya suruh kerja,
dia cuma mesem-mesem aja terus nyautnya gini, “Belom ada produser yang
ngajak gue rekaman Bud.”
“Kalo belom ada order nyanyi atau bikin lagu kan lo bisa kerja yang lain?” kata saya.
“Gue seniman Bud. Gue ga mau kerja di luar dari bidang seni yang gue tekuni.”
“Kalo sampe mati lo ga dapet order, gimana?”
“Ya gapapa Bud. Minimal gue mati sebagai seniman yang punya prinsip.
Seniman yang berdedikasi pada dunia yang sudah dipilihnya.” Gila kan
argumentasinya?
“Man, gue ga nyuruh lo ninggalin dunia lo. Sementara nunggu order kan lo bisa kerjain yang lain dulu?”
“Gue ga punya kemampuan apa-apa selain musik dan nyanyi Bud.”
“Lo kan bisa nyetir, jadi supir kek, badan lo gede kan bisa jadi satpam.
Kalo perlu lo jadi pemulung juga gapapa, yang penting lo punya
pemasukan.” desak saya lagi.
“Lo udah miring otaknya ya Bud?” Tiba-tiba suara dia berubah dingin.
“Kenapa?” tanya saya heran.
“Gue ini seniman. Profesi yang bermartabat. Masa lo nyuruh gue jadi pemulung?”
“Emang kenapa kalo jadi pemulung?”
“Gengsi dong! Di mana harga diri gue di mata orang lain? Apa kata keluarga gue nanti?”
Abis percakapan itu saya nyerah dan membiarkan seniman rudin ini sibuk
dengan mimpinya. Herman mempunyai 2 anak. Anak tertuanya yang perempuan
akhirnya dibiayai oleh isteri saya. Karena isteri saya ga tega juga
ngeliat anak Herman yang sangat kuat keinginannya untuk meneruskan
kuliah.
Tapi saya masih ga abis pikir, kenapa Herman merasa jadi pemulung itu
kurang bermartabat? Mendingan jadi pemulung kan daripada tiap hari
nyusahin orang lain, pinjem duit, ngutang makan, nebeng rokok.
Saya jadi semakin terinspirasi sama omongannya Bupati Bantaeng di atas.
Orang-orang di negara maju, gengsinya rendah dan malunya tinggi. Mereka
ga gengsi ngaku salah, mereka ga gengsi mengundurkan diri, mereka ga
gengsi melakukan pekerjaan apapun selama itu adalah pekerjaan halal.
Semakin dipikirin pikiran saya semakin gundah. Waduh! jangan-jangan
filosofi gengsinya rendah, malunya tinggi itu kebalikan dengan mental
orang kita ya? Kalo orang kita kayaknya gengsinya yang tinggi dan
malunya yang rendah. Huh! Pantes banyak korupsi di mana-mana. Gengsi kan
butuh ongkos. Dan korupsi? Ngapain musti malu? Toh semua orang juga
korupsi?
Ya Allah…lindungilah Negara ini. Amin.
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2014/05/08/gengsinya-rendah-malunya-tinggi--651927.html
Penulis: Bidiman Hakim