Erlangga Djumena | Rabu, 10 Agustus 2011 | 08:52 WIB
KONTAN/DOK PRIBADI
Salah satu cita-cita setiap orang tua adalah memberikan pendidikan yang terbaik bagi buah hati mereka. Karena itu, para orang tua rela merogoh kocek lebih dalam agar anaknya memperoleh pelajaran tambahan di luar sekolah lewat bimbingan belajar (bimbel).
Siswadi melihat perilaku para orang tua itu sebagai peluang bisnis. Ia mendirikan usaha bimbingan belajar (bimbel) bernama Solusi di Matraman, Jakarta, pada tahun 2008 silam.
Saat ini, bimbel Solusi terus berkembang dan memiliki 45 cabang yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Dari seluruh cabangnya tersebut, Siswadi mampu meraih omzet hingga Rp 400 juta per bulan.
Memiliki usaha bimbel yang sukses belum membuat Siswadi puas. Keuntungan bisnis bimbel ia putar di bisnis restoran. Kini, Siswadi sudah mempunyai tujuh restoran dengan laba bersih Rp 49 juta per bulan.
Namun, semua kesuksesan itu bukan jatuh dari langit. Bisnis bimbel dan restoran Siswadi juga bukan bisnis warisan, lo. Laki-laki kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, ini membutuhkan waktu panjang untuk membangun bisnis bimbel dan restoran.
Siswadi lahir dan besar dari keluarga yang serbakekurangan. Tapi, Siswadi yang ditinggal pergi begitu saja oleh ayahnya pada usia lima tahun itu memiliki semangat besar untuk mengubah nasib.
Sewaktu duduk di kelas III SD, Siswadi sempat berusaha mencari ayahnya ke Semarang. Karena tidak punya kerabat, Siswadi telantar dan menjadi pengamen untuk mendapatkan sesuap nasi di kota itu.
Sembari mengamen, Siswadi tetap mencari kabar tentang sang ayah. Tapi, akhirnya, ia menyerah dan kembali ke Purwodadi. Setelah beberapa lama di rumah, Siswadi memutuskan untuk merantau ke Jakarta dengan naik kereta api. "Karena tak mempunyai tiket, saya diturunkan di sawah," kenang Siswadi.
Tidak patah arang, Siswadi berjalan kaki menyusuri sawah hingga bertemu dengan terminal bus. Dengan modal mengamen, Siswadi sampai di terminal Pulo Gadung, Jakarta. "Agar tetap hidup, saya mengamen di terminal itu," jelas Siswadi.
Hidup di jalanan membuat Siswadi berkenalan dengan banyak orang. Ia bahkan pernah ikut demonstrasi di tahun 1998 demi mendapatkan sebungkus nasi. Karena sering demonstrasi, Siswadi terdampar di markas kelompok mahasiswa proreformasi bernama Forum Kota (Forkot).
Siswadi pun akhirnya menetap di markas Forkot itu sembari ikut sekolah kejar Paket A, setara dengan SD. Setelah lulus, Siswadi meninggalkan Forkot dan melanjutkan sekolah ke SMP.
Karena tidak punya tumpuan, Siswadi kembali mengamen untuk mencari sesuap nasi dan juga biaya sekolah. Bahkan terkadang, ia meminta uang secara paksa kepada murid lain. "Untungnya kepala sekolah berbaik hati dan membebaskan saya dari SPP," kata dia.
Ketika ia duduk di bangku SMU, Siswadi juga bekerja keras di sebuah persewaan game untuk membiayai sekolah. Selain itu, ia aktif di kegiatan nasyid SMU, bahkan sempat menjadi juara antar-SMU. "Sejak itu, saya mulai tenang dan tidak nakal," ungkap Siswadi.
Lulus SMU, Siswadi sempat kuliah di Universitas Bhayangkara. Tapi, kemudian, ia memutuskan bekerja sebagai tenaga marketing di sebuah lembaga bimbel. Di tempat bimbel itulah Siswadi belajar seluk-beluk usaha bimbel. Berbekal pengalaman itu, ia mengajak teman-temannya membuka bimbel sendiri pada 2008.
Dengan memanfaatkan rumah salah seorang temannya, Siswadi mengeluarkan kocek Rp 300.000 untuk perlengkapan bimbel. "Saya dapat murid 95 siswa saat itu," kata Siswadi.
Dua siswa dari seluruh siswa didikannya itu lolos seleksi program pertukaran pelajar Indonesia-Jerman. Setelah itulah, bimbel Solusi diincar banyak siswa. Apalagi dari sisi bayaran, bimbel Solusi menawarkan paket hemat yang terjangkau bagi kalangan bawah.
Dalam waktu tiga tahun, bimbel Solusi berkembang menjadi 45 cabang dengan jumlah karyawan 500 orang. Setelah bimbel berjalan, Siswadi menyempatkan diri meneruskan kuliah di universitas yang berbeda. (Bambang Rakhmanto/Kontan)
No comments:
Post a Comment