Kamis, 17 April 2014
Dulu
saya pernah menceritakan pengalaman melihat pengemis pakai hp, mungkin di masa
itu melihat pengemis pakai hp masih langka dan terkesan aneh. Tapi sekarang
makin banyak fakta terkuak, banyak topeng yang tersibak, siapa sangka ada
pengemis yang keliling membawa gerobak, ternyata di gerobaknya sudah tertabung
uang yang banyak.
Maka
tak heran kalau wali kota Bandung ketika menawarkan pekerjaan penyapu
jalan kepada pengemis malah mendapat tantangan sinis: “Boleh saja pak, asal
kami bisa diberi gaji 4 sampai 10 juta perbulan. Wah kalau segitu gajinya
mendingan saya juga daftar deh jadi penyapu jalan, hitung-hitung jaga
kebersihan jalan yang juga sebagian dari iman sambil cari penghasilan.
Usut
punya kusut karena yang kusut tak pernah diusut, ternyata angka segitu bukan
tanpa hitungan atau berarti menolak mentah-mentah tawaran wali kota, melainkan memang itulah jumlah uang
yang rata-rata bisa mereka raih dari hasil seharian menengadahkan tangan dalam
waktu satu bulan. Oo… pantesan para pengemis tak tertarik ikut demo buruh
menuntut kenaikan UMR, ternyata penghasilan mereka bisa dua kali lipat dari
tuntutan itu.
Bayangkan ada seorang pengemis
yang bisa mendapatkan 25 juta hanya dalam waktu dua minggu, bagaimana tidak
menggiurkan, tak perlu sekolah tinggi atau keterampilan khusus untuk
mendapatkan uang dengan syarat harus bermuka tebal ketika menengadahkan tangan.
Hukum Mengemis
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hukum asal meminta-minta itu adalah haram baik
di dalam masjid maupun di luar masjid, kecuali kalau darurat.”[1] Ya, memang begitulah
adanya. Kita akan dapati banyak hadits yang melarang kegiatan meminta-minta
bagi yang masih mampu bekerja dan masih punya jalan lain untuk usaha, antara
lain:
a.Hadits Abu Hurairah ra, Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا،
فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa yang
meminta harta manusia demi memperbanyak harta maka sebenrnya dia hanyalah
meminta bara api. Maka silahkan mempersedikit (bara api itu) atau
memperbanyaknya.”
(HR. Muslim, no. 1041).
An-Nawawi
menukil dari Al-Qadhi Iyadh menjelaskan maknanya adalah dia akan disiksa dengan
neraka. Atau itu akan menjadi bara api yang akan menyetrika wajahnya
sebagaimana halnya orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.[2]
b.Hadits Sahl bin Hanzhalah yang
mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى فَإِنَّمَا
يَسْتَكْثِرُ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ
“Siapa yang
meminta-minta padahal berkecukupan berarti dia sama saja dengan memperbanyak
bara jahannam.”
Sahl bertanya kepada Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam apa maksud (عَنْ ظَهْرِ غِنًى) (dari punggung yang
berkecukupan), beliau menjawab, ”Yaitu ketika dia tahu bahwa keluarganya
masih bisa memberinya makan siang dan makan malam.”
(HR. Ath-Thahawi dalam Syarh
Musykil, no. 486 dan Syarh Ma’ani Al-Atsar no. 3026 dengan sanad yang shahih,
juga oleh Abu Daud, no. 1631).
c.Hadits Qabishah bin Mukhariq
dimana Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya,
يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ
ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى
يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ،
فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ
سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ - وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ
مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ
لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ سِدَادًا
مِنْ عَيْشٍ - فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا
يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا "
“Wahai Qabishah, meminta-minta tak halal
kecuali bagi salah satu dari tiga orang yaitu;
1.
orang yg mempunyai tanggungan (hutang) yg
menjadikannya terpaksa meminta sehingga bisa ia melunasi tanggungannya, lalu ia
menahan diri (tidak meminta),
2.
Seseorang yang tertimpa paceklik atau kerusakan
tanaman membuat hartanya ludes sehingga ia terpaksa meminta demi memperoleh
penopang hidup atau solusi kehidupan. Setelah itu, dia harus menahan diri dan
tak boleh meminta lagi.
3.
Seseorang yang mengalami kemiskinan atau kebutuhan mendesak, dan dipersaksikan
oleh tiga orang tokoh kaumnya yang mengatakan bahwa dia benar-benar
membutuhkan, maka dia boleh meminta, sampai ia peroleh penopang kehidupan atau
solusi kehidupan, selanjutnya ia menahan diri,
Adapun
meminta-minta selain karena tiga alasan ini, wahai Qabishah, adalah suht
(makanan haram) yang disantap oleh
pelakunya.”
(HR. Muslim no. 1044).
Dan
masih banyak lagi hadits maupun atsar yang mengecam perbuatan meminta-minta ini
dan baru dihalalkan ketika terpaksa dan bukan dijadikan pekerjaan tetap atau
profesi.
Mengemis sebagai profesi sudah ada
sejak lama, bahkan rela menyewakan anaknya, atau merekayasa luka agar
menimbulkan iba.
Al-Jahizh
menuliskan dalam kitab Al-Bukhala` berbagai bentuk pengemis, dan salah satunya
adalah Al-Musya’’ib yaitu orang yang menyiasati keadaan anak kecil ketika
dilahirkan dengan membutakannya atau menjadikannya pengkor (mematahkan tulang
kaki atau tangannya) agar bisa dijadikan alat mengemis bagi keluarganya. Bahkan
kadang ibu dan ayahnya membawanya agar diurus dengan keuntungan yang berat
karena saat itu dia adalah ikatan atau penghasilan. Caranya bisa dengan
menjadikannya alat usaha atau menyewakannya dengan harga tertentu. Kadang
mereka menyewakan anak-anak mereka kepada orang yang hendak pergi ke Afrika
lalu dijadikan pengemis di jalanan dan dengan itu mereka mengumpulkan harta
yang banyak, bila orang itu terpercaya dan bisa membayar. Kalau tidak maka dia
meminta jaminan.”[3]
Selain
itu ada pula yang dinamakan Al-Qarasi yaitu orang yang sengaja mengikat tangan
atau kakinya sampai bengkak biar terlihat seperti orang yang terserang penyakit
gatal-gatal.
Ini
semua persis dengan yang sering dilakukan sebagian pengemis di negeri ini.
Jadi, di masa Al-Jahizh yang wafat pada tahun 250 H saja fenomena orang-orang
ini sudah pernah ada.
Orang-orang
yang sebenarnya mampu atau berkecukupan atau menjadikan mengemis sebagai
profesi dan bukan keterpaksaan seharusnya diberi pelajaran. Bahkan pihak
berwenang dibenarkan untuk menangkap mereka dan memberikan hukuman ta’zir
disertai pengarahan agar tidak lagi mengulang perbuatannya.
Al-Mawardi
dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah mengatakan,
وإن رأى رجلًا يتعرّض لمسألة الناس في طلب الصدقة،
وعلم أنه غني إما بمال أو عمل أنكره عليه وأدّبه فيه، وكان المحتسب بإنكاره أخص من
عامل الصدقة. قد فعل عمر -رضي الله عنه- مثل ذلك بقوم من أهل الصدقة، ولو رأى عليه
آثار الغنى وهو يسأل الناس أعلمه تحريمها على المستغني عنها، ولم ينكره عليه لجواز
أن يكون في الباطن فقيرًا، وإذا تعرّض للمسألة ذو جلد وقوة على العمل، زجره وأمره
أن يتعرض للاحتراف بعمله، فإن أقام على المسألة عزره حتى يقلع عنها.
“Kalau dia (muhtasib) melihat ada seorang
laki-laki yang meminta-minta sedekah kepada manusia padahal dia tahu bahwa
orang itu sebenarnya berkecukupan baik dari segi harta maupun pekerjaan, maka
dia harus mencegahnya dan memberinya pelajaran (adab). Pengingkaran muhtasib
lebih khusus daripada petugas zakat. Umar RA pernah melakukan hal serupa
terhadap para penerima zakat. Bila dia melihat orang itu ada tanda sebagai
orang kaya tapi dia masih meminta kepada manusia maka dia harus menjelaskan
kepadanya bahwa itu diharamkan atas diri orang berkecukupan. Tapi dia tidak
mencegah dulu karena ada kemungkinan sejatinya orang itu memang miskin (hanya
penampilan yang kaya –penerj). Apabila yang meminta-mint aini adalah orang yang
terlihat kuat dan mampu bekerja maka dia harus melarangnya dan memerintahkannya
untuk bekerja sesuai keahliannya. Kalau orang tersebut meminta-minta maka dia
boleh memberinya hukuman takzir sampai dia menghentikan kegiatan mengemisnya
itu.”[4]
Lalu bagaimana memberi sedekah
kepada pengemis?
Tentulah
memberi sedekah kepada pengemis yang terlihat susah dan benar-benar membutuhkan
merupakan kebajikan bahkan bisa jadi kewajiban bagi seorang muslim. Sebab,
dalam setiap harta seorang muslim ada hak bagi yang meminta dan orang-orang
yang kekurangan rejeki, sebagaimana firman Allah,
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
(Qs.
Adz-Dzariyaat : 19)
Akan tetapi haruslah pandai-pandai
memilah dan memilih mana yang berhak disedekahi mana yang tidak. Secara kasat
mata rasanya tak perlulah kita bersedekah kepada yang terlihat sehat atau kuat
persangkaan bahwa dia mengeksploitasi anak-anak untuk mengemis, atau terlihat
berkecukupan ataupun dicurigai sebagai kelompok terorganisir.
Akan tetapi orang-orang yang memberi
karena tertipu oleh penampilan pengemis tersebut insya Allah akan mendapatkan
pahala utuh karena keikhlasannya seperti kisah orang yang sedekahnya jatuh ke
tangan pencuri, pelacur dan orang kaya dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan
Muslim yang terkenal. Dia salah sasaran tapi sedekahnya tetap diterima oleh
Allah karena dia tidak tahu.
Sedangkan bila sudah tahu bahwa si
pengemis itu sebenarnya menipu tentulah tidak boleh memberikan sedekah
kepadanya karena itu berarti membantunya melakukan dosa.
Sumber : http://kawalitareng.blogspot.com
Anshari
Taslim
3
Desember 2013