Syammahfuz Chazali
Erlangga Djumena | Kamis, 16 Juni 2011 | 14:02 WIB
:
KONTAN/DOK PRIBADI
Nama Faerumnesia 7G sengaja dipilih Syammahfuz Chazali sebagai bendera usaha. Farumnesia adalah akronim dari feses (kotoran), ruminansia (lambung sapi), dan Indonesia. Adapun, 7G singkatan dari 7 orang Gigabyte. “Artinya, karya Indonesia dari kotoran sapi. Tujuh orang terdiri dari lima mahasiswa dibantu dua dosen,” tutur Syam, panggilan karibnya.
Syam tak sendiri mendirikan Farumnesia 7G ini. Ia dibantu 4 kawan kampusnya serta dua dosen dari jurusan agribisnis dan jurusan tanah.
Bila bulan ini ia berkutat hanya memproduksi 3.000 bata, bulan depan, kapasitas produksinya meningkat 10 kali lipat. Ia harus membuat 30.000 bata seharga Rp 3.000 per buah. Alhasil, Syam pun bisa mengantongi omzet Rp 90.000.000, Juli nanti.
Selain sibuk memproduksi bata, Syam juga harus meladeni permintaan beberapa perusahaan dari dalam dan luar negeri. Perusahaan-perusahaan itu hendak mengadopsi ide pemanfaatan kotoran sapi.
Perusahaan-perusahaan di luar negeri itu, antara lain dari Kenya, India, Meksiko, Venezuela, Italia, Belanda, dan Amerika Serikat. “Yang paling berminat itu perusahaan dari India. Dia sudah hubungi saya berkali-kali,” kata Syam yang lahir di Medan, 5 November 1984 itu.
Tentu saja, perusahaan itu tidak datang begitu saja. Mereka mengetahui adanya produk bata Syam ketika Tim Prasetiya Mulya Businees School (PMBS) meraih juara pertama di Global Social Venture Competition, April 2009. Kompetisi rencana bisnis pemanfaatan limbah ini digelar di Universitas Berkeley, Amerika Serikat.
Kala itu PMBS mengajak EcoFaeBrick sebagai objek rencana bisnisnya. EcoFaeBrick adalah nama produk bata dari Faerumnesia 7G. Batu bata dari kotoran sapi ini lebih ringan dari batu bata tanah liat. Namun, daya tekan EcoFaeBrick 20 persen lebih kuat.
Bata buatan Syam menggunakan kotoran sapi dengan kadar 75 persen. Sisanya, proses pemanasan biogas. Proses ini mampu menggantikan emisi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran saat memproduksi bata dari tanah liat. “Saat menang itu, saya dan teman-teman diliput media massa di sana. Akhirnya banyak perusahaan mengenal kami,” tutur Syam.
Di AS, banyak orang mengomentari EcoFaeBrick. “Alhamdulilah, bagus. Mereka berpikir kotoran sapi bisa jadi solusi bagi negara yang menghasilkan CO2 tinggi,” ungkap Syam.
Sepulangnya ke Indonesia, beberapa perusahaan mengontak Syam. Mereka minta ilmu pemanfaatan kotoran sapi kepadanya. Namun, informasi itu tak diberinya lengkap. Sebab, penggunaan kotoran sapi jadi kerajinan bermerek Farumnesia 7G sudah dipatenkan pada 2007.
Berkat kotoran sapi, Syam meraih banyak penghargaan. Ia pernah masuk delapan besar nominator Wirausaha Muda Mandiri Regional Jateng-DIY dan 50 besar peserta Intensive-Student Technopreneurship Program RAMP.
Syam juga menggondol juara I Lomba Bisnis Plan Pemuda dan Olahraga pada 2007. Syam pun pernah menerima penghargaan Rektor UGM sebagai Mahasiswa Berprestasi di Bidang Kewirausahaan pada 2007.
Sayangnya, penghargaan itu cuma jadi lambang. Syam tak pernah menerima dana untuk mengembangkan usahanya. Tidak dari perusahaan swasta, tidak juga dari pemerintah. “Padahal, kalau pemerintah mau membantu, kami bisa menembus pasar luar negeri,” kata Syam.
Saat Faerumnesia 7G baru lahir, Syam menghampiri sebuah bank. Ia minta pinjaman modal. Tapi, bank itu menolak permintaannya dengan berbagai alasan. Akhirnya, dengan tertatih-tatih, Syam mengumpulkan modal dari kemenangannya di berbagai kompetisi.
Hingga akhirnya terkumpul Rp 4,5 juta sebagai modal awal, yang digunakan untuk membeli bahan baku dan menyewa alat. Syam pun bekerja sama dengan seorang perajin di Godean. “Sekarang saat saya sudah produksi, sudah punya omzet besar, bank-bank itu datang ke saya menawarkan bantuan. Saya tolak semuanya,” kata Syam.
Syam benar-benar membangun usaha dari nol. Ia tak mengeluarkan sepeser pun dari kantong pribadinya. Hanya ide yang ia tawarkan. “Saya bertarung sendiri sejak awal,” ujarnya. (Gloria Natalia/Kontan)
No comments:
Post a Comment