UTK YANG MASIH RAGU DGN VAKSINASI :
Oleh : Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal. Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis, atau dirawat di rumah sakit, bisa meludeskan tabungan bertahun-tahun. Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.
Seorang pakar instrumentasi kesehatan mengatakan biaya medis itu 60% baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti roentgen, CT-scan atau lab untuk uji darah. Baru 40%-nya untuk terapi. Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, atau dikira sakit A, padahal sebenarnya sakit B.
Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan. Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati. Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy. Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.
Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal. Kadang ditambah bekam dan ruqyah. Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun. Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.
Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”. Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.
Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi. Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontro-versial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.
Sangat menarik untuk mengetahui, bahwa justru cikal bakal vakasinasi itu dari dokter-dokter muslim zaman khalifah Turki Utsmani, bahkan mungkin sudah dirintis sejak zaman Abbasiyah. Ini diceritakan pada buku “1001 Inventions Muslim Heritage in Our World” (buku ini bisa didownload di https://archive.org/…/1001Inventions-TheEnduringLegacyOfMus…): Di halaman 176 tertera: “The Anatolian Ottoman Turks knew about methods of vaccination, they called vaccination Ashi or engrafting, and they had inherited it form older turkic tribes”.
Vaksinasi adalah proses memasukkan kuman yang telah dilemahkan ke dalam tubuh untuk mengaktifkan sistem kekebalan yang sebenarnya sudah ada didalam tubuh tapi belum aktif. Kekebalan itu tidak muncul sendiri meski saat baru lahir bayi ditahnik dan selama dua tahun mendapatkan ASI. Tanpa vaksinasi, kekebalan itu baru muncul setelah orang terserang penyakit, bila dia selamat. Namun yang lebih sering terjadi, sebelum kekebalan itu muncul, pasien sudah telanjur meninggal atau cacat. Jadi vaksinasi ini adalah cara merangsang kekebalan dengan risiko minimal. Tentu saja yang dirangsang hanya kekebalan untuk penyakit tertentu, yang dianggap sedang amat berbahaya karena fatal dan sangat menular, seperti cacar, polio, difteri atau meningitis. Penyakit meningitis tidak ada di Indonesia, tetapi ada di Saudi Arabia, sehingga para jama’ah haji diwajibkan oleh pemerintah Saudi untuk vaksinasi meningitis.
Lady Mary Wortley Montagu (1689-1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki saat itu, membawa ilmu vaksinasi ke Inggris untuk memerangi cacar ganas (smallpox). Namun Inggris perlu menunggu hampir setengah abad, sampai tahun 1796 Edward Jenner mencoba teknik itu dan menyatakan berhasil. Cacar ganas yang pernah membunuh puluhan juta manusia hingga awal abad-20, akhirnya benar-benar berhasil dimusnahkan di seluruh dunia dengan vaksinasi yang massif. Kasus cacar ganas terakhir tercatat tahun 1978. Akhirnya Jennerlah yang disebut dalam sejarah sebagai penemu vaksinasi, terutama vaksin cacar.
Gerakan anti-vaksinasi muncul di Inggris sejak hari pertama ilmu dari Daulah Khilafah ini diperkenalkan. Saat itu argumentasi agama (Kristen) juga digunakan. Hampir sama dengan argumentasi anti-vaksinasi yang sekarang kita dengar, seperti keraguan keamanannya, kehalalannya, sampai tuduhan adanya konspirasi untuk melemahkan suatu bangsa. Saat itu, di Inggris ada dugaan bahwa vaksinasi itu jangan-jangan tipu daya melemahkan Inggris yang lagi berhadapan dengan Khilafah Utsmani.
Dari sisi keamanan, vaksin yang sama saat itu juga dipakai di Turki, sama seperti sekarang vaksin yang sama juga dipakai di Amerika Serikat atau Israel.
Dari sisi kehalalan, jumhur ulama, termasuk dari Salafi dan Hizbut Tahrir bahkan menganjurkan vaksinasi. Dalilnya adalah persetujuan Rasulullah pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam, meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam, atau mengizinkan memakai sutra bagi lelaki yang menderita sakit kulit (padahal aslinya haram). Vaksinasi sudah diakui menjadi cara medis preventif. Meski dia diberikan pada saat pasien masih sehat, namun tidak diragukan, vaksinasi adalah tindakan medis, baik diberikan dengan suntikan atau dimasukkan melalui mulut – dan cara ini tidak bisa dianggap memberi minuman. Karena itu hukum vaksinasi adalah hukum pengobatan, bukan hukum minuman.
Ada juga hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu bil umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah mengapa beberapa abad kaum muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.
Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”. Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker! Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno. Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.
Semua penemuan teknologi ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang terlanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.
Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.
Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.
Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik. Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi. Mereka yang antivaksinasi malah menuduh segala masalah kesehatan itu akibat vaksinasi.
Peringatan 200 tahun ilmu vaksinasi di Khilafah Utsmani, pada perangko yang dikeluarkan Turki tahun 1967. (www.shariapub.com)
Oleh : Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal. Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis, atau dirawat di rumah sakit, bisa meludeskan tabungan bertahun-tahun. Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.
Seorang pakar instrumentasi kesehatan mengatakan biaya medis itu 60% baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti roentgen, CT-scan atau lab untuk uji darah. Baru 40%-nya untuk terapi. Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, atau dikira sakit A, padahal sebenarnya sakit B.
Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan. Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati. Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy. Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.
Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal. Kadang ditambah bekam dan ruqyah. Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun. Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.
Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”. Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.
Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi. Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontro-versial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.
Sangat menarik untuk mengetahui, bahwa justru cikal bakal vakasinasi itu dari dokter-dokter muslim zaman khalifah Turki Utsmani, bahkan mungkin sudah dirintis sejak zaman Abbasiyah. Ini diceritakan pada buku “1001 Inventions Muslim Heritage in Our World” (buku ini bisa didownload di https://archive.org/…/1001Inventions-TheEnduringLegacyOfMus…): Di halaman 176 tertera: “The Anatolian Ottoman Turks knew about methods of vaccination, they called vaccination Ashi or engrafting, and they had inherited it form older turkic tribes”.
Vaksinasi adalah proses memasukkan kuman yang telah dilemahkan ke dalam tubuh untuk mengaktifkan sistem kekebalan yang sebenarnya sudah ada didalam tubuh tapi belum aktif. Kekebalan itu tidak muncul sendiri meski saat baru lahir bayi ditahnik dan selama dua tahun mendapatkan ASI. Tanpa vaksinasi, kekebalan itu baru muncul setelah orang terserang penyakit, bila dia selamat. Namun yang lebih sering terjadi, sebelum kekebalan itu muncul, pasien sudah telanjur meninggal atau cacat. Jadi vaksinasi ini adalah cara merangsang kekebalan dengan risiko minimal. Tentu saja yang dirangsang hanya kekebalan untuk penyakit tertentu, yang dianggap sedang amat berbahaya karena fatal dan sangat menular, seperti cacar, polio, difteri atau meningitis. Penyakit meningitis tidak ada di Indonesia, tetapi ada di Saudi Arabia, sehingga para jama’ah haji diwajibkan oleh pemerintah Saudi untuk vaksinasi meningitis.
Lady Mary Wortley Montagu (1689-1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki saat itu, membawa ilmu vaksinasi ke Inggris untuk memerangi cacar ganas (smallpox). Namun Inggris perlu menunggu hampir setengah abad, sampai tahun 1796 Edward Jenner mencoba teknik itu dan menyatakan berhasil. Cacar ganas yang pernah membunuh puluhan juta manusia hingga awal abad-20, akhirnya benar-benar berhasil dimusnahkan di seluruh dunia dengan vaksinasi yang massif. Kasus cacar ganas terakhir tercatat tahun 1978. Akhirnya Jennerlah yang disebut dalam sejarah sebagai penemu vaksinasi, terutama vaksin cacar.
Gerakan anti-vaksinasi muncul di Inggris sejak hari pertama ilmu dari Daulah Khilafah ini diperkenalkan. Saat itu argumentasi agama (Kristen) juga digunakan. Hampir sama dengan argumentasi anti-vaksinasi yang sekarang kita dengar, seperti keraguan keamanannya, kehalalannya, sampai tuduhan adanya konspirasi untuk melemahkan suatu bangsa. Saat itu, di Inggris ada dugaan bahwa vaksinasi itu jangan-jangan tipu daya melemahkan Inggris yang lagi berhadapan dengan Khilafah Utsmani.
Dari sisi keamanan, vaksin yang sama saat itu juga dipakai di Turki, sama seperti sekarang vaksin yang sama juga dipakai di Amerika Serikat atau Israel.
Dari sisi kehalalan, jumhur ulama, termasuk dari Salafi dan Hizbut Tahrir bahkan menganjurkan vaksinasi. Dalilnya adalah persetujuan Rasulullah pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam, meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam, atau mengizinkan memakai sutra bagi lelaki yang menderita sakit kulit (padahal aslinya haram). Vaksinasi sudah diakui menjadi cara medis preventif. Meski dia diberikan pada saat pasien masih sehat, namun tidak diragukan, vaksinasi adalah tindakan medis, baik diberikan dengan suntikan atau dimasukkan melalui mulut – dan cara ini tidak bisa dianggap memberi minuman. Karena itu hukum vaksinasi adalah hukum pengobatan, bukan hukum minuman.
Ada juga hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu bil umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah mengapa beberapa abad kaum muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.
Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”. Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker! Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno. Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.
Semua penemuan teknologi ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang terlanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.
Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.
Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.
Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik. Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi. Mereka yang antivaksinasi malah menuduh segala masalah kesehatan itu akibat vaksinasi.
Peringatan 200 tahun ilmu vaksinasi di Khilafah Utsmani, pada perangko yang dikeluarkan Turki tahun 1967. (www.shariapub.com)