Mengenal Novela Nawipa, Saksi Paling Lucu di Sidang MK

Novela Nawipa membikin suasana sidang ger-geran, beda dengan biasanya yang selalu tegang.

:

Novela Nawipa. (Facebook)
Novela Nawipa. (Facebook)
Berita Terkait

Suara.com - Masih ingat suasana di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi pada Selasa (12/8/2014) siang? Saat itu suasananya ger-geran, beda dengan biasanya yang sangat tegang.
Adalah Novela Nawipa, saksi dari Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang bisa bikin pecah tawa di ruang sidang. Hakim yang selama ini selalu tampil kaku pun tak bisa menyembunyikan tawa mereka.
Yang membuat perempuan asal Kampung Awabutu, Kabupaten Paniai, Papua, itu tiba-tiba sohor di seantero negeri adalah gaya bicaranya saat memberikan keterangan di hadapan hakim konstitusi.
Perempuan berambut keriting yang juga kader Partai Gerindra ini bicara dengan suara keras, bahkan seperti meledak-ledak di tengah ruang sidang.

Misalnya, ketika Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menanyakan tentang keadaan  kampung lain di Paniai saat pilpres, dengan nada suara tinggi dan cepat, Novela mengatakan: “Saya tidak mau bicara kampung lain, saya mau bicara kampung saya saja.” Seisi ruang sidang pun ger-geran.
Momen lain yang membuat para hakim tak bisa menahan tawa adalah ketika hakim Patrialis Akbar bertanya tentang jarak antara TPS dan distrik tempat Novela.
“Dekat, Yang Mulia, hanya 300 kilometer,” ujar Novela dengan nada tinggi.
Tentu saja statement itu membuat orang-orang heran, lalu pecah tawa. Tiga ratus kilometer dibilang dekat. Tapi kemudian ia meralat, maksudnya 300 meter jaraknya.
Sejak kejadian itu, Novela jadi perbincangan di berbagai tempat. Ada orang yang mengira Novela sedang marah-marah kepada hakim, padahal memang logatnya seperti itu. Siapa sesungguhnya Novela? Berikut ini ceritanya.
Ia adalah perempuan kelahiran Paniai 14 September 1984. Selama ini, Novela menekuni bisnis rumah, tanah, dan emas sejak 2009. Ia termasuk orang yang punya tekad untuk berkontribusi membangun perekonomian Papua.
Dengan bekal keyakinan dirinya yang kuat itu, Novela mulai membangun bisnisnya dari hasil “berkebun emas.”
Kegiatan jual-beli maupun menggadaikan logam mulia bersertifikat produk Antam untuk mendapatkan dana segar baru guna membeli lebih banyak emas itu dilakukannya dengan tekun.
“Transaksi per harinya bisa sepuluh gram kalau harga emas lagi naik. Saya menjual satu koin emas dan uangnya dipakai untuk membeli dua koin emas. Ini saya lakukan terus-menerus sehingga saya bisa mengumpulkan sampai 20 gram emas,” kata perempuan yang kini menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Gerindra.
Dalam menjalankan kegiatan bisnis rumah, tanah dan emas yang diyakininya tetap berprospek baik ini, Novela memilih Bank Muamalat sebagai mitra keuangan usahanya karena sistem Syariah dan bagi hasil yang diterapkan bank tersebut terbukti menguntungkan.
“Bagaimana kita bisa saling menguntungkan, itu yang penting buat saya walau saya orang Kristen,” katanya.
Keberhasilan yang sementara ini telah dicapainya membuat hidupnya relatif berkecukupan secara ekonomi, kondisi yang tak dirasakannya di masa kanak-kanak hingga remaja. “Saya jatuh bangun tapi saya terus melangkah karena ada cahaya di ujung lorong,” ujarnya.
Kondisi ekonomi keluarganya yang terbatas itu telah memaksa Novela untuk senantiasa kreatif dan bekerja keras untuk meraih cita-cita.
“Saya bekerja apa saja untuk bisa bertahan dan meneruskan sekolah. Sewaktu di sekolah dasar, saya jualan sayur mayur dan hasil-hasil kebun yang lain di pasar. Lalu, saat masih duduk di bangku SMP, saya bekerja sebagai tukang cuci pakaian,” katanya.
Tamat dari SMP, kehidupan Novela tidak lantas membaik sehingga dia tidak punya banyak pilihan untuk menopang hidupnya. “Waktu duduk di kelas dua SMA, saya pernah menjadi tukang ojek dengan menyasar para penumpang wanita,” kata alumni SMA Negeri 1 Sentani.
Kegetiran hidup terus berlanjut hingga dia kuliah di Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura.
Seperti dituturkan Novela, selama di bangku kuliah, dia hanya berbekal dua helai celana panjang dan lima potong baju saat kuliah.
Kondisi hidupnya itu tidak membuatnya patah semangat. Sebaliknya, kreativitas anak tertua dari delapan bersaudara ini justru semakin terbangun.
“Saya pernah membantu rekan kuliah saya menyelesaikan tugas papernya. Dari situ, saya mendapat Rp300 ribu,” kat dia.
“Saya melakukan semua ini karena, sebagai anak tertua, apa pun saya tempuh dengan cara yang halal agar saya bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik saya,” Novela menambahkan.
Pahit getirnya hidup yang dia rasakan semasa sekolah membuatnya ringan untuk membantu sesama.
Bahkan, ibu satu anak yang harus menjadi orang tua tunggal setelah ditinggal mati suami ini menerapkan filosofi “berbagi” dengan sebanyak mungkin orang dari hasil usahanya.
“Cukup bagi saya kuliah dengan mengeluarkan air mata. Saya tidak ingin anak-anak Papua yang lain mengalami hal serupa dengan yang pernah saya alami dulu. Saya buat kolam kebaikan buat mereka,” kata dia.
Dari hasil bisnis, Novela lantas menyekolahkan dua anak asal Wamena dan satu anak asal Paniai. Keduanya telah lulus pendidikan sarjana bidang pendidikan dari Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Abdi Bangsa Paniai.
“Kini mereka sudah menjadi guru di pedalaman Papua. Membangun orang Papua, terutama mereka yang berasal dari pedalamanan, harus dimulai dari pembentukan karakter terlebih dahulu. Di sinilah pentingnya pendidikan. Beri konseling ke anak-anak Papua supaya mereka tahu ke mana arah yang benar,” katanya.
Sebagai pengusaha yang semasa kuliah pernah aktif dalam kegiatan gereja dan gerakan perempuan, Novela mengatakan dia mendambakan kondisi Papua yang maju dan sejahtera.
Dalam kaitan ini, mantan aktivis Ikatan Perempuan Pegunungan Tengah ini menggarisbawahi pentingnya pembangunan infrastruktur jalan bermutu yang dapat membuka akses berbagai wilayah di provinsi itu dengan senantiasa memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.
Akses jalan yang terbatas tersebut, menurut dia, merupakan salah satu akar permasalahan dari lambannya pembangunan di daerah pegunungan. Akibatnya, harga berbagai barang kebutuhan rakyat di sana pun bisa dua kali lipat dari daerah lain, katanya.
“Di Puncak Jaya, harga satu sak semen, misalnya, bisa mencapai Rp1,5 juta padahal di Jayapura hanya Rp80 ribu, di Nabire Rp120 ribu dan di Paniai Rp175 ribu,” kata pengusaha yang menjalankan bisnisnya lewat CV Iyobai ini.
Mempertimbangkan realitas infrastruktur yang ada selama ini dan kondisi alam Papua, Novela memandang moda transportasi yang lebih tepat untuk dikembangkan di Papua adalah kereta api.
“Kereta api ini merupakan solusi. Untuk itu perlu dibangun rel kereta api karena keberadaan kereta api yang menjangkau wilayah-wilayah yang ada merupakan masa depan Papua,” katanya.
Dalam pandangan perempuan pengusaha kelahiran Wamena ini, ekonomi dan kesejahteraan merupakan kata kunci bagi penyelesaian masalah Papua.
“Kepercayaan rakyat tidak bisa dibeli dengan uang melainkan dengan kerja-kerja nyata yang berorientasi pada kesejahteraan yang berkeadilan bagi mereka,” katanya. (Twitter/Facebook/Antara/berbagai sumber)