Setumpuk Panci, Sebuah Asa, Semangat Hidup

Penulis : Firly Anugrah Putri | Rabu, 19 Desember 2012 | 20:10 WIB

Setumpuk Panci, Sebuah Asa, Semangat Hidup

Firly Anugrah Putri Sahuri (66) yang sedang beristirahat seusai berkeliling menjajakkan panci-panci dagangannya dari Duren Tiga, hingga Cawang, Rabu (19/12/12).
Senyum lebar terpancar dari wajah Sahuri (66). Melawan terik panas matahari di Jalan Dewi Sartika, Cililitan, Jakarta Timur, dia menjajakan panci dan ketel dibawa dengan sepeda ontelnya.

Pria yang tinggal di rumah kontrakannya di Kampung Pengarengan, kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur, itu tak pernah putus asa. Dia melakukan hal itu putra semata wayangnya yang masih duduk di bangku SMP.

Setiap harinya, Sahuri keluar rumah kontrakannya pukul 08.30 WIB. Hal itu dilakukannya sejak tahun 1965.

"Dari tahun 1965 saya sudah jualan berkeliling, dulunya saya jualan kompor minyak, tapi sejak tiga tahun terakhir kompor minyak enggak ada lagi yang minat. Kalaupun ada paling satu atau dua orang, makanya saya jual panci, ketel dari tiga tahun lalu," kata Sahuri kepada Kompas.com, Rabu (19/12/2012).

Cuaca yang akhir-akhir ini tidak menentu sedikit mempengaruhi pendapatan Sahuri. Jika hujan turun, dia terpaksa mengurungkan keluar rumah. Jika dipaksakan pu, tak ada pembeli barang dagangannya.

Meskipun begitu, Sahuri mengaku tak patah semangat. Saat ditanya berapa keuntungan yang didapat, kakek tua itu hanya tersenyum lebar. Senyum yang menyiratkan guratan pilu di tengah rasa syukur.

"Enggak tentu pendapatannya, enggak bisa diperkirakan, malah sering juga dalam dua minggu setiap harinya sama sekali enggak ada penghasilan karena enggak ada yang beli. Satu panci itu harganya Rp 15.000, ada yang paling mahal Rp 100.000 itu juga diutangin, kalo enggak laku sama belum bayar ya gak ada uang," kata Sahuri sambil tersenyum kecil.

Kesedihan semakin terasa saat orang-orang yang mengambil pancinya dengan cara menyicil, tak kunjung membayarnya. Sahuri hanya bisa berusaha meminta dan bersabar jika yang berhutang belum juga membayarnya.

Empat puluh tujuh tahun sudah Sahuri mengadu nasib di jalan dengan berdagang. 24 tahun berdagang kompor minyak, tiga tahun berdagang panci dan ketel.

Menurut Sahuri, sang istri tetap setia mendampingi, dan menunggu suaminya di rumah yang juga tak pernah mengeluh atas kehidupan yang dihadapi. Kehidupan Ibu Kota yang keras membuat pria paruh baya asal Tegal itu tak dapat berlaku banyak. Demi menghidupi istri, dan putra yang masih bersekolah, Sahuri hanya mampu menggunakan kemampuan berdagangnya.

"Semua saya lakukan demi keluarga. Saya punya harapan agar anak saya yang masih sekolah, tidak seperti saya yang hidup pas-pasan dengan segala kesulitan," katanya dengan mata yang berbinar dan senyum tulus yang tersirat di bibirnya.

Potret kehidupan sebagian kecil warga Jakarta yang bertaruh demi sebuah harapan, demi sebuah kehidupan yang harus dilanjutkannya. Jakarta dengan segala pesonanya yang dapat membuat orang terjatuh jika hanya terbuai dengan segala gemerlapnya.
 
Editor :
Ana Shofiana Syatiri
JAKARTA, KOMPAS.com